Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya

Photo by Elena Mozhvilo on Unsplash

Bagikan Postingan Ini

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on telegram
Share on twitter
Share on email

Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya Melalui Interpretasi dan Konstruksi Hukum. Berdasarkan pendapat Peter Mahmud, isu hukum dalam dogmatika hukum terjadi karena beberapa faktor diantaranya: (a) para pihak yang beperkara atau yang terlibat dalam perdebatan menyatakan penafsiran yang berbeda sebagai akibat dari ketidakjelasan dari teks peraturan itu sendiri; (b) kekosongan hukum; (c) terjadi perbedaan penafsiran atas fakta.[1]

Baca Juga: Gaji Ditunda dan Overtime Pekerja PT. KSS Indo Apparel Magetan?

Isu hukum secara umum dikenal sebagai 3K atau kekosongan hukum, kekaburan hukum, konflik hukum. Masing-masing isu hukum tersebut akan didefinisikan, diberikan contoh, dan dijelaskan mengenai bagaimana penyelesaian terhadap isu hukum yang ada. Simak penjelasan di bawah ini:

1. Kekosongan Hukum

Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya. Kekosongan hukum atau kekosongan norma (leemten in het recht/recht vacuum)[2] merupakan keadaan dimana, pertama, karena memang belum diatur undang-undang sehingga undang-undang tidak dapat dijalankan dalam situasi dan keadaan tertentu (sama sekali belum diatur).

Kedua, kekosongan hukum sebagai keadaan karena ketentuan undang-undang yang bersifat umum-abstrak masih perlu dijabarkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, bersifat konkrit dan teknis (tidak diatur mengenai pelaksanaannya/tidak ada peraturan pelaksana).[3]

Salah satu contoh kekosongan hukum (recht vacuum) yang saat ini terjadi ialah ketiadaan pengaturan mengenai perlindungan data pribadi secara komprehensif dalam satu peraturan khusus.[4] Selama ini, kasus kebocoran data pribadi masih mengacu pada PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai peraturan turunan UU ITE.

Jika persoalan data pribadi masih didasarkan pada PP tersebut maka fokus utama akan ada pada sistem dan transaksi elektronik yang mana seharusnya persoalan data pribadi dalam konteks ekonomi digital bukan hanya persoalan transaksi tetapi hak konsumen mengenai kerahasiaan dan keamanan dari data pribadinya.[5]

Didasarkan pada jurnal yang ditulis Enju Juanda, kekosongan hukum dapat diselesaikan melalui konstruksi hukum yang terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu: (a) analogi (abstraksi); (b) determinasi (penghalusan hukum) dan (c) argumentum a contrario.[6] Sedangkan menurut jurnal yang ditulis Habibul Umam Taqiuddin, kekosongan hukum dapat diselesaikan melalui konstruksi hukum/penemuan hukum (rechtvinding)dengan 4 (empat) metode, yaitu: (a) argumentum per analogian (analogi); (b) argumentum a contrario; (c) Penyempitan/pengkonkretan/penghalusan hukum (rechtsverfijning); dan (d) fiksi hukum.[7]Disini penulis mencoba menyimpulkan mengenai bagaimana penyelesaian dari isu kekosongan hukum/norma, penyelesaian terhadap kekosongan hukum dapat ditempuh dengan:

a.         Konstruksi hukum

Konstruksi hukum pada dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:[8]

  1. Argumentum per analogiam (analogi), merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
  2. Argumentum a contrario, hakim melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
  3. Penyempitan/pengkonkritan/penghalusan hukum (rechtsverfijning), bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;

b.        Interpretasi hukum atau penafsiran hukum

Interpretasi atau penafsiran hukum dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, Sudikno Mertokusumo membaginya menjadi 6 (enam) jenis interpretasi.[9] Peter Mahmud membaginya menjadi 8 (delapan) jenis interpretasi.[10] Kemudian Bruggink membaginya menjadi 4 (empat) jenis interpretasi.[11] Dan terakhir pembagian 11 interpretasi pada jurnal yang ditulis Habibul Umam.[12] Untuk pembagian interpretasi oleh Peter Mahmud dapat dibaca pada tulisan Muhaimin dalam bukunya Metode Penelitian Hukum.[13] Menurut penulis, pemahaman uraian interpretasi paling mudah dipahami adalah apa yang ditulis oleh Habibul Umam sebagai berikut:[14]

  1. Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
  2. Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
  3. Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
  4. Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;
  5. Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
  7. Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;
  8. Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
  9. Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;
  10. Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
  11. Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.

2. Kekaburan Hukum

Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya. Kekaburan hukum atau kekaburan norma (vague norm) merupakan keadaan dimana kondisi dimana suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar hukum/ hukum itu tidak bisa diterapkan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Salah satu contoh kekaburan norma hukum (vague norm) ada pada Pasal 19 jo. Pasal 55 UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).[15] Norma tersebut tidak merumuskan dengan jelas dan tegas mengenai jangka waktu dari subjek hukum dalam Pasal 19 untuk dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Pasal 19 UU BPJS sendiri berbunyi:

Ayat (1):

“Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS”

Ayat (2)

“Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”

Dari kedua rumusan pasal tersebut tidak ditemukan jangka waktu kapan pemungutan, pembayaran dan penyetoran dari iuran BPJS. Tetapi dalam Pasal 55 UU BPJS menyatakan:

“Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sehingga, Pasal 19 UU BPJS tersebut merupakan norma yang kabur karena tidak diatur secara tegas dan lugas terkait unsur untuk dapat dikatakan memenuhi kriteria tindak pidana berkaitan dengan tidak diaturnya mengenai kriteria waktu kapan pemberi kerja dinyatakan tidak memenuhi kewajiban, sebagaimana tercantum dalam rumusan frasa ‘wajib memungut iuran’ yang menjadi beban peserta.

Pada dasarnya, unsur tindak pidana dalam Pasal 55 memang diatur dalam PP No. 86/2013 yang merupakan salah satu peraturan pelaksana UU BPJS, namun hal tersebut bertentangan dengan prinsip expresis verbis. Karena sejatinya peraturan pidana tidak diperkenakan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana.

Untuk memecahkan permasalahan isu hukum yang dikategorikan sebagai kekaburan norma terdapat pendapat berbeda-beda, berdasarkan pendapat Muhaimin dalam bukunya Metode Penelitian Hukum isu hukum jenis ini dapat diselesaikan dengan analogi,[16] kemudian dalam tulisan Habibul Umam Taqiuddin jenis isu hukum ini dapat diselesaikan dengan menafsirkan undang-undang (penafsiran hukum/interpretasi hukum).[17] Selanjutnya berdasarkan tulisan Bachtiar yang mengutip Philipus M. Hadjon, untuk menyelesaikan isu kekaburan norma dapat dilakukan dengan penemuan hukum (rechtvinding)dengan dua teknik, (a) interpretasi dan (b) konstruksi hukum yang meliputi: analogi, penghalusan atau penyempitan hukum, dan argumentum a contrario.[18]

3. Konflik Norma

Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya. Konflik hukum atau konflik norma (antinomi norma hukum),[19] merupakan keadaan dimana dua norma memerintahkan suatu ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya. Norma yang bertentangan tersebut menjadikan norma lainnya tidak cocok sehingga mengakibatkan pelanggaran terhadap norma lain.

Contoh dari konflik norma ialah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP Pengupahan) berkonflik dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. PP mengatur bahwa perhitungan upah minimum dihitung dan dipengaruhi oleh inflasi dan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) sehingga kenaikan tiap tahunnya menjadi baku. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perhitungan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.[20]

Dalam menghadapi norma yang berkonflik, untuk menilai norma mana yang seharusnya berlaku digunakan asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum tersebut meliputi:

a. Lex superior derogate legi inferiori

Lex superior derogate legi inferior merupakan asas yang berarti norma yang lebih tinggi mengesampingkan norma yang lebih rendah. Dalam menilai suatu norma lebih tinggi dari norma lain maka dapat dilihat pada dasar pembentukan norma tersebut, sebagai contoh apabila norma yang bertentangan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka dalam konsideran dapat diketahui jika peraturan tersebut merupakan peraturan turunan dari peraturan yang lebih tinggi. Hal tersebut juga dapat dilihat melalui hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

b. Lex specialis derogate legi generalis

Lex specialis derogate legi generalis merupakan asas hukum yang berarti mengutamakan norma yang lebih khusus dibanding norma yang umum. Menerapkan asas lex specialis bukanlah suatu hal yang mudah mengingat tidak adanya ukuran yang pasti untuk menentukan secara mutlak bahwa suatu aturan hukum adalah bersifat khusus terhadap aturan hukum lainnya yang bersifat umum. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan asas lex specialis derogate legi generali adalah sebagai berikut:[21]

1. ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2. ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis (misalnya, undangundang dengan undang-undang); dan

3. ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis, misalnya: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) karena berada dalam lingkungan hukum yang sama, yaitu lingkungan hukum keperdataan.

c. Lex posteriori derogate legi priori

Lex posteriori derogate legi priori merupakan asas hukum yang memiliki makna norma hukum yang lebih baru mengesampingkan norma yang lebih lama. Dalam menerapkan asas ini harus tetap melihat hubungan “superordinasi” dan “subordinasi” atau hierarki dari norma yang berkonflik tersebut.

Macam Isu Hukum dan Penyelesaiannya. Kemudian, terdapat pula menurut para ahli langkah lain dalam menyelesaikan konflik norma:[22]

a. Pengingkaran (disavowal)

Pengingkaran (disavowal). Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok dengan mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau konflik logika yang diinterpretasi sebagai pragmatis. Tipe ini beranggapan bahwa tidak terdapat konflik norma, meskipun dirasakan bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma.

b. Reintepretasi

Reinterpretasi (reinterpretation). Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi hukum harus dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi norma preferensi dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.

c. Pembatalan (invalidation)

pembatalan (invalidation). Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan abstrak formal dan pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak formal, yaitu pembatalan suatu norma yang dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah dalam hierarki ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Semetara itu, pembatalan norma undang-undang terhadap UUD 1945 dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun pembatalan praktikal, yaitu pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma tersebut di dalam kasus konkrit.

g.        Pemulihan (remedy)

Pemulihan (remedy). Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan. Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overrulednorm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah dengan cara pemberian kompensasi.


[1] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2020).

[2] Habibul Umam Taqiuddin, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim,” JISIP 1, no. 2 (2017): 110493.

[3] Agus Satory Hotma Pardomuan Sibuea, “Problematika Kedudukan Dan Pengujian Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil Sebagai Peraturan Perundang-Undangan,” PALAR (Pakuan Law Review) 06, no. 1 (2020): 1–27.

[4] Harris Y. P. Sibuea, “Kekosongan Hukum Perlindungan Data Pribadi,” Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI Minggu ke- (2021).

[5] Mochamad Januar Riski, “Penegakan Hukum Kebocoran Data Pribadi Lemah, Dua RUU Ini Mendesak Disahkan,” Hukum Online, 2021, https://www.hukumonline.com/berita/a/penegakan-hukum-kebocoran-data-pribadi-lemah–dua-ruu-ini-mendesak-disahkan-lt60cb0161e7d94.

[6] Enju Juanda, “Konstruksi Hukum Dan Metode Interpretasi Hukum,” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 4, no. 2 (2017): 168, https://doi.org/10.25157/jigj.v4i2.322.

[7] Taqiuddin, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim,” JISIP 1, no. 2 (2017)

[8] Taqiuddin. “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim,” JISIP 1, no. 2 (2017)

[9] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2004).

[10] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).

[11] Philipus M. Hadjon and T. S. Djatmiat, Argumentasi Hukum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006).

[12] Taqiuddin, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim,” JISIP 1, no. 2 (2017)

[13] Muhaimin, Metode Penelitian Hukum (Mataram: Mataram University Press, 2020).

[14] Taqiuddin, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim,” JISIP 1, no. 2 (2017)

[15] Andrias Winarno, Bambang Bambang Sugiri, and Yuliati Cholil, “Kekaburan Norma Dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial,” Media Iuris 4, no. 3 (2021): 341.

[16] Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. (Mataram: Mataram University Press, 2020).

[17] Taqiuddin, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim.”

[18] Bachtiar, Metode Penelitian Hukum (Yogyakarta: UNPAM PRESS, 2018). Untuk tulisan Philipus M. Hadjon yang dikutip ialah Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, Jurnal Yuridika, No. 6 Tahun IX, November-Desember 1994, hlm. 1.

[19] Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. (Mataram: Mataram University Press, 2020).

[20] Hari Wahyono and Susanto, “Konflik Norma Peraturan Pemerintah No . 78 Th 2015 Tentang Pengupahan Dan Undang-Undang No . 3 Th 2003 Tentang Ketenagakerjaan,” Justitia Jurnal Hukum 2, no. 78 (2018): 331–41.

[21] Nurfaqih Irfani, “Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum,” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020): 305.

[22] Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, “Asas Preferensi Dalam Perpajakan,” 2018, https://atpetsi.or.id/asas-preferensi-dalam-perpajakan.

Tinggalkan Komentar pada Artikel Ini

Berikan respon dan tanggapan anda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tinggalkan Komentar pada Artikel Ini

Berikan respon dan tanggapan anda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!